Apa Arti asuransi Jiwa Bagi Saya

Mengapa menjual asuransi bagi saya merupakan sebuah obsesi? Mengapa saya kiaskan sebagai agama? Mengapa saya katakan perang suci ? Mengapa saya anggap a asuransi tidak bisa digantikan dengan lain hal? Mengapa saya menentukan bahwa setiap orang yang saya jumpai harus membeli asuransi ? Mengapa saya begitu gemcar menjelaskan pentingnya asuransi ?
Mungkin semua in ibermula dari pengalaman saya sendiri. Saya telah kehilangan seorang teman yang tidak saya tawari asuransi ketika dia masih hidup. Satu minggu setelah acara pemakamanya, saya telepon lagi istrinya, “ Ria , adakah sesuatu yang bisa saya bantu ? “

Jawabannya membuat saya merasa sangat bersalah, “Terlambat la, dulu kamu punya kesempatan untuk menolong saya. Sekarang tidak ada lagi ang dapat kamu lakukan bagi saya1 “

Lain halnya dalam acara pemakaman klien pertama saya. Saat itu saya duduk di dekat kursi istrinya. Orang-orang menghampirinya sambil mengucapkan simpati dan turut berduka cita.
Hampir setiap orang yang menyalaminya mengatakan “Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk anda ? “
Saya tahu bahwa dari mereka semua yang menawarkan bantuan kepadanya, hanya saya yang akan benar-benar membantunya. Saya telah menjual asuransi kesehatan kepada suaminya, dan dalam beberapa hari saya segera membawakan cek yang akan sangat membantunya. Meskipun kejadiannya cukup menyedihkan, tetapi saya merasa bangga mendapatkan peran dalam drama kehidupan nyata ini. Semua ini menjadi mungkin dengan adanya produk luar biasa yang kita jual –Asuransi Jiwa.

Mungkin kedua pengalaman inilah yang membuat saya sangat dalam memahami makna asuransi jiwa.

Kejadian Seorang Sahabat
Berikut ini adalah cerita tentang seorang sahabat saya sejak kecil. Aji namanya. Kami tumbuh bersama , bermain bersama, sekolah bersama. Setelah selesai lulus wisuda   ,   dia menjadi seorang akuntan sukses.

Dia agak terlambat menikah , tetapi tak masalah baginya dan untungnya segera dikaruniai tiga anak laki-laki. Pada saat itu anak-anaknya berusia 6, 4 dan 1 tahun. Aji merencanakan memberikan mereka pendidikan terbaik hingga perguruan tinggi kelak. Kehidupannya pun sudah ada rencanakan agar segala cita-cita dan angan-angan terhadap putranya bisa tercapai kelak.

Satu saat saya berkunjung ke rumahnya untuk membicarakan asuransi. Saya duduk dan mulai merancang sebuah program untuknya.

Dia termaksuk prospek yang alot untuk doiajak wawancara. Banak sekali ide-ide bertentangan yang dia ajukan. Menurutnya investasi pada saham perusahaan uranium dapat menghasilkan keuntungan banyak . saya bersihkeras untuk menjelaskan bahwa asuransi tidak bisa dibandingkan dengan hal-hal seperti itu. Tidak ada pengganti bagi asuransi. Saya sampaikan juga  tanpa asuransi semua rencana untuk anak-anaknya tidak terjamin dengan aman.

Hampir 6 bulan saya berusaha, hingga akhirnya dia setuju untuk melakukan hasil periksa  medis. Permohonan asuransinya senilai Rp. 50 juta disetujui. Baginya tentu saja bukan masalah untuk membayar premi asuransi polis sebesar itu, tetapi ketika saya kembali untuk menandatangani kontrak, dia meminta saya untuk menunggu-menunggu sampai dia punya waktu untuk melakukannya. Setiap hari dalam beberapa minggu, saya terus menemuinya agar mau membayar premi agar polisnya tetap in force – tetapi saya selalu gagal.

Pada akhirnya, batas berlaku polisnya mulai habis sehingga saya harus menarik kembali polis tersebut ke kantor pusat. Itu terjadi pada bulan Januari.

Saya tidak terlalu kecewa dengan kejadian ini, karena sebelumnya dia telah meyakinkan saya bahwa dalam musim panas mendatang dia berniat untuk menambahkan beberapa perlindungan baru ke dalam program asuransinya. Saya pun telah mencatat janji pertemuan berikutnya pada bulan Juni mendatang.

Baru tiga bulan setelah itu, tiba-tiba seorang teman menelepon saya dan mengatakan , “ Aji saat ini sakit parah dan sedang dirawat “
Saya sama sekali tidak percaya ucapannya “ Ah..tidak mungkin. Tiga bulan yang lalu saya bertemu denganya .Keadaanya sangat sehat tidak  kurang satu apapun. “

Dia berusaha meyakinkan kepada saya, “ Sungguh La, keluarganya membawa dia ke rumah sakit. Dia diserang kanker “

Sangat tidak bisa dipercaya, saya segera pergi ke rumah sakit  untuk memastikan apa yang dikatakan teman tadi. Ternyata benar, Aji terbaring disana, pada mulanya dia hanya mengira telah menjalani operasi kelenjar biasa, tapi ternyata itu adalah kanker. Bahkan hingga akhir hayatnya Aji tidak pernah mengetahui penyakitnya.

Saya kembali mengulang kunjungan saya ke RS itu. Saya sudah berada disana 15 menit. Hampir 15 menit saya berbincang-bincang dengn aji, ketika seorang suster masuk kekamar dan meminta saya untuk meninggalkanya. Pada saat itu istri Aji, Hanny, juga berada disana. Kami keluar dari kamarnya bersama-sama. Setelah tiba di ruang tunggu, Hanny bertanya pada saya, “ La, saya mau bertanya sesuatu padamu. Apakah Aji sudah membeli polis yang sering kali kamu tawarkan itu ?
Pertanyaannya sangat memukul saya. “ Aku sangat menyesal mengatakannya Hanny, tapi dia belum membelinya.
“ Bisakah dia membelinya sekarang, La? “

Kedengerannya agak lucu, bukan ? Tetapi sangat  tragis.

“ Sayang sekali Hanny, sekarang sudah terlambat. Dalam keadaan seperti ini, Aji tidak bisa membeli Asuransi lagi “

Aji hanya mampu bertahan hingga  beberapa bulan kemudian. Pada minggu pertama bulan Mei, dia pergi meninggalkan seorang janda dengan tiga orang  anak yatim.
Sambil berjalan saya merenungi bahwa saya telah gagal lagi melindungi satu keluarga, dalam hal ini keluarga teman saya sendiri. Ketika peti mati mulai diturunkan, pemimpin upacara pemakaman meminta setiap pengusung jenasah untuk melemparkan sarung tangan abu-nya masing-masing ke dalam lahat.

Setelah acara pemakaman selesai, semua kerabat dekat diundang kerumah seorang keluarga Aji. Disana kami mendapatkan jamuan kopi, teh dan kue ala kadarnya. Kami berbincang mengenai masa-masa terakhir Aji bertemu dengan kami. Bersama dengan itu tiba-tiba pintu depan terbuka. Dia anak laki-laki masuk sambil berlari-lari dan tertawa, diikuti seorang ibu yang menggendong anak yang masih kecil. Mereka adalah anak-anak dan janda Aji.

Hal ini terjadi seperti yang sayakhawatirkan sebelumnya. Saya segera menaruh cangkir kopi yang baru saja saya minum dan langsung pamit pulang kepada tuan rumah. Setibanya di rumah, saya kumpulkan semua anak-anak saya dan memeluk mereka erat-erat.

Semua terjadi karena kegagalan saya. Sesungguhnya saya bisa berbuat lebih banyak lagibagi keluarga Aji. Saya bisa menjamin pendidikan mereka hingga perguruan tinggi kelak, menjamin segala kebutuhan keluarga dan kebutuhan anak-anaknya. Tetapi saya gagal, saya gagal memberikan perlindungan sebesar Rp. 500 jt bagi istri dan anak-anaknya.
Satu-satunya ang telah saya berikan kepada Aji, hanya sepasang sarung tangan abu-abu yang saya lemparkan kedalam kuburnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar